Hangat. Panas. Ketika saya berharap situasi mendingin dengan adanya calon alternatif lain selain Jokowi dan Prabowo, suasana justru semakin kemebul. Partai-partai Islam yang katanya mau bikin koalisi sendiri ternyata terbagi-bagi ke dua kubu itu, berharap menjadi cawapres mungkin. Masih agak menyesalkan sih, padahal kalau suara dari partai-partai tersebut disatukan bisa didapatkan jumlah pemilih yang lumayan signifikan. Meskipun begitu, sepertinya dari sisi politik dan sisi lain-lainnya itu tidak bisa dilakukan, makanya tidak dilakukan. Sebenarnya agak-agak sebal sih melihat PPP yang sempat terbelah cuma gara-gara ada yang dukung salah satu capres dan ada yang tidak mendukung. Lha, kan bisa dirapatkan dulu, jangan langsung jadi headline news, malu kali :)
Suka tidak suka, capresnya cuma ada dua. Kemudian cawapres juga dipilih berdasarkan entahlah apa terserah partainya, lalu terbentuklah pasangan Jokowi-JK dan Prabowo-Hatta. Dua pasangan tersebut kemudian mengambil nomor urut, hasilnya Prabowo-Hatta dapat nomor 1 dan Jokowi-JK dapat nomor 2. Ada debat pasangan tersebut. Wajar. Ada debat capresnya saja. Wajar. Tapi yang meramaikan justru debat pendukungnya. Baik itu di sosial media, warung kopi, teras tetangga, balai desa, pos ronda, dimana-mana. Panas. Panas.
Saya yang dari awal kurang begitu sreg dengan dua calon tersebut ( sampai sekarang juga belum sreg :D ) cuma bisa ngowoh kalau melihat Beranda halaman facebook saya. Beragam posting dari pendukung, simpatisan kedua belah pihak merajalela. Rendahin diri, ninggiin mutu. Ninggiin diri, rendahin yang lain. Dahsyat. Sampai terkaburkan mana fakta mana dusta, mana yang tulus dan mana akal bulus. Apalagi untuk saya yang tidak punya pengetahuan awal memadai tentang dua calon tersebut. Bagaikan masuk ke dalam labirin tak berujung :)
Lucunya, entah itu dari pusat entah itu inisiatif dari bawah, ada banyak "pengakuan" tentang sesuatu yang sama dari kedua belah pihak. Misalnya nih, pendukungnya Prabowo bilang Prabowo mirip Bung Karno, eh tapi pendukungnya Jokowi juga bilang kalau Jokowi mirip Bung Karno. Lalu setelah debat capres yang pertama itu, ada yang bilang Jokowi kalem dan tidak agresif. Eh yang lain lagi bilang Prabowo yang kalem dan nggak terpancing. Ini kan subyektif sangat. Bagaimana dengan nasib saya yang nggak punya TV? Saya harus percaya yang mana? Kalau kata ibu saya sih, Hatta Radjasa yang kalem...
Sebenarnya, ada untungnya juga saya tidak punya TV. Soalnya, menilik dari reaksi orang-orang, media sekarang jauh dari kesan netral. Maklum ye, yang punya stasiun TV orang-orang parpol, atau simpatisan parpol tertentu, jadi kalau menceng ke arah yang didukung ya mau bagaimana lagi, punya mereka ini stasiun TV-nya, bukan punya mbah saya :(
Apa sebenarnya yang paling mengganggu saya sebagai pemilih bukan simpatisan? Tidak lain tidak bukan adalah kampanye membabi buta yang sedikit banyak menjurus kepada black campaign. Saya sebagai penikmat facebook merasa tidak lagi nikmat lagi melihat orang-orang menshare artikel yang berisi kelemahan lawan. Pendukung Prabowo menshare kegagalan Jokowi. Pendukung Jokowi menshare masa lalu Prabowo. Lalu artikel lain lagi. Lalu pendapat pribadi. Lalu artikel. Entah itu artikel dari situs yang lumayan terkenal (tempo, republika, kompas, dll.) sampai blog-blog pribadi. Tidak habis-habis. Sampai terkaburkan mana fakta mana dusta, mana yang tulus dan mana akal bulus. Lebih miris lagi kalau yang menshare itu aktivis-aktivis yang menurut saya baik dan sholeh/sholehah. Mungkin tujuan mereka memang untuk memberi informasi pada umat agar tidak salah pilih karena dampaknya pasti besar untuk kehidupan kita semua 5 tahun ke depan. Tapi dengan membabi buta menyebarkan keburukan, yang belum pasti benar dan salahnya, kok rasanya kurang sreg saja, agak aneh saja. Mungkin itu cuma perasaan saya pribadi, tapi pada saat pemilu legislatif kemarin mereka-mereka ini tidak se"uwaw" ini kampanyenya. Tidak seaktif ini menyebarkan link-link yang sebagian besar berisi keburukan calon yang tidak didukungnya.
Saya kira, daripada menyebarkan keburukan lawan, lebih baik yang dishare adalah kelebihan calon yang didukung. Walaupun itu bisa dikategorikan "bragging", tapi paling tidak itu bukan "stabbing". Terlebih untuk mereka yang menurut saya baik dan sholeh/sholehah, sebisa mungkin jangan memperlihatkan "kebencian". Katanya rahmatan lil 'alamin? :)
Lalu, siapa yang akan saya pilih tanggal 9 Juli nanti?
Saya belum tahu. Masih ada sekitar tiga minggu untuk memikirkannya lebih matang :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar